Mahfud Minta Usut Penyebar Video Hoax Jaksa Terima Suap Sidang HRS
Minggu, 21-03-2021 - 10:39:26 WIB
LUDAINEWS.COM-JAKARTA - Menko Polhukam Mahfud Md turut menanggapi perihal video hoax yang menarasikan seorang jaksa menerima suap pada sidang kerumunan dan test swab Habib Rizieq Shihab di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Mahfud menyebut penyebar video hoax itu bisa diusut walaupun bukan termasuk delik aduan.
"Sengaja memviralkan video seperti ini tentu tentu bukan delik aduan, tetap harus diusut," cuit Mahfud dalam akun twitter resminya, Minggu (21/3/2021).
Mahfud menerangkan pihaknya akan menelaah dan membuka kemungkinan untuk merevisi UU ITE untuk menghilangkan pasal karet yang termaktub didalamnya. Mahfud menyebut hal itu dilakukan agar masyarakat bisa membedakan mana delik aduan dan delik umum.
"Tetapi kita tetap akan menelaah kemungkinan revisi UU ITE untuk menghilangkan potensi pasal karet dan membedakan delik aduan dan delik umum di dalamnya," ungkapnya.
Baca juga:
Vaksin AstraZeneca Kantongi Izin Penggunaan dari MUI dan BPOM
Mahfud menyinggung UU ITE berangkat seperti kasus yang saat ini terjadi. Ia pun kemballi menegaskan bahwa penangkapan oknum jaksa AF yang dinarasikan dalam potongan video itu terjadi pada 6 tahun Silam.
"Video ini viral, publik marah ada jaksa terima suap dalam kasus yang sedang diramaikan akhir-akhir ini, tapi ternyata ini hoax: penangkapan atas jaksa AF oleh jaksa Yulianto itu terjadi 6 tahun lalu di Sumenep. Bukan di Jakarta dan bukan dalam kasus yang sekarang. Untuk kasus seperti inilah, a-l, UU ITE dulu dibuat," katanya.
Diberitakan sebelumnya, viral di media sosial video yang menarasikan seorang jaksa menerima suap di sidang kerumunan dan test swab Habib Rizieq Shihab yang telah digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Kejaksaan Agung (Kejagung) menyebut kejadian itu tidak benar.
Video tersebut menarasikan dengan voice over 'terbongkar pengakuan seorang jaksa yang mengaku menerima suap kasus sidang Habib Rizieq Shihab, innalillah semakin hancur wajah hukum Indonesia,'. Video itu berdurasi 48 detik dengan menampilkan wawancara wartawan dengan seorang jaksa yang belakangan diketahui Kepala Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur (NTT) Yulianto.
Potongan video itu memunculkan interaksi wawancara antara jaksa Yulianto dengan wartawan.
'Berapa yang ditangkap pak?' kata wartawan.
'Satu yang kita tangkap jaksa AM yang kedua adalah AF pemberinya,'kata jaksa Yulianto.
'Nominalnya?' sahut wartawan.
'Nominal nya 1,5 uangnya dalam bentuk pecahan rupiah dan pecahan rupiah Rp 100 ribu dan pecahan Rp 50 ribu,' kata jaksa.
'Ditemukan di?' lanjut wartawan itu.
'Ditemukan ditempat kost oknum jaksa,' ungkap jaksa mengakhiri.
Kejagung lantas memberikan penjelasan. Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak menyebut bahwa peristiwa dalam video itu terjadi pada November 2016 silam. Leonard menerangkan video itu bukan berkaitan dengan peristiwa sidang Habib Rizieq.
"Bahwa video penangkapan seorang oknum jaksa oleh tim saber pungli Kejaksaan Agung adalah peristiwa yang terjadi pada bulan November tahun 2016 yang lalu dan bukan merupakan pengakuan Jaksa yang menerima suap kasus sidang Habib Rizieq Shihab," kata Leonard seperti dikutip, Minggu (21/3).
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak meminta masyarakat untuk tidak terprovokasi dengan video itu dan menyebarkannya. Leonard mengingkatkan bahwa siapapun yang menyebarkan berita bohong bisa dijerat pasal pidana UU ITE.
"Kami juga meminta agar masyarakat tidak membuat berita atau video atau informasi yang tidak benar kebenarannya dan menyebar-luaskannya kepada masyarakat melalui jaringan media sosial yang ada karena perbuatan tersebut dapat dijerat dengan Undang Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik khususnya pasal 45A ayat (1) yang berbunyi "Setiap orang, yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan dipidana dengan pidana penjara 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)," tandasnya.
(Sumber: Detik.com)
Komentar Anda :